Cerita Misteri Mistik Terbaru, Cerita mistik Mitos Pesugihan, Cerita seram Kisah misteri Kisah nyata misteri Misteri sejati Paravisi Kisah nyata cerita misteri terbaru pamali mitos

Tangis Kuntilanak Sungai Dareh Kisah Gaib Terbaru

Tangis kuntilanak di pinggir sungai dareh

Kisah marni yang menenggelamkan anaknya sendiri

Aku, Nuning, Raras, Tika, berkemah di sungai Dareh untuk yang pertama kalinya. Kami menentukan daerah yang masih berhutan, jauh di hulu, namun tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk. Begitu hingga di lokasi yang kami inginkan, kami segera mencari posisi strategis untuk mendirikan tenda. Untuk persiapan di malam hari, kami juga mulai mengumpulkan ranting-ranting kayu kering untuk menciptakan perapian. Saat kami menyusuri fatwa kali, tampak ibarat ada rawa-rawa. Akar pohon bambu menjuntai ke sebuah sungai  yang airnya cenderung hening dan berbatu. Ada juga beberapa tepian landai yang sangat cocok untuk merendam kaki kami yang cukup lelah berjalan menyusuri area hutan. Angin lembut berhembus menyentuh pepohonan bambu yang masih cukup lebat kemudian meniup pori-pori badan kami.

Kami memasuki tenda sesudah kami merasa puas berjalan-jalan melihat keadaan sekeliling. Tika tampak mengeluarkan laptop dari ranselnya. Tidak salah lagi, ratu sosmed ini niscaya akan update status di sosmed. Aku, Raras, dan Nuning sibuk mengondisikan tas berisi makanan dan kudapan yang cukup banyak kami bawa untuk persediaan. Malam semakin larut, cuaca di sana cukup dingin, kami pun menciptakan perapian untuk menghangatkan badan kami. Keheningan hutan mulai merangkak naik. Dalam keheningan tersebut, tiba-tiba terdengar sayup bunyi wanita sedang menangis. Hm,, tampaknya dari arah pinggir sungai. Kami hanya saling berpandangan dan bertanya-tanya, bunyi apakah itu?

"Tik, kau mendengar sesuatu?" tanyaku pelan sebab bulu romaku mulai merinding. Tika membisu saja, begitu juga sahabat yang lainnya. Masing-masing mencoba memempertajam pendengarannya.

"Eh, Iya bunyi orang nangis kayanya.." bisik Tika kemudian.

"Kamu dengar, Ras, Ning?'' tanyaku pula kepada yang lainnya.


"Ih...Serem, ah!" Nuning bergegas memasuki tenda. Diantara kami, Nuning memang paling penakut.

Kami semua menyusul nuning kemudian dan menutup tenda rapat-rapat. Beberapa menit lamanya, kami hanya saling berpandangan di dalam tenda. Namun terus terang saya sendiri dan tampaknya yang lainnya juga merasa ingin tau pada bunyi yang kami dengar bersama-sama. Apakah indera pendengaran kami yang salah tangkap?? Ah, mudah-mudahan saja itu hanya bunyi goresan pohon bambu yang tertiup angin. Kami pun merebahkan diri masing-masing. Namun, rasa ingin tau masih menghantui kami. Antara ingin tahu dan takut!

Baru beberapa ketika kami berebah, tiba-tiba bunyi itu tiba kembali dan sontak menciptakan kami berdiri dan saling berpandangan. Tidak salah lagi! Kali ini kami yakin bahwa itu memang bunyi seorang wanita yang sedang menangis.

"May....!" Nuning memanggilku. "Suara apa itu...?" tanyanya dengan wajah pucat. Aku diam."Benarkan.. itu.. bunyi orang nangis.. kan?'' lanjutnya dengan bunyi gemetar. "Ia, tampaknya memang benar, May.." Desis raras. "Ngapain juga malam-malam gini orang nangis di pinggir sungai?!'' Sepertinya Nuning mencoba menghibur diri.

Tangisan tiba-tiba menghilang. "Udah.. udah.. tidur, yuk!" kataku mencoba menenangkan mereka sambil merebahkan diri. Nuning, Tika, dan Raras juga pelan-pelan merebahkan diri kembali. Namun, lagi-lagi bunyi tangisan tersebut terdengar kembali. Dan kali ini sangat jelas. Kami berpandangan dan merapatkan barisan. Nuning tampak mendekap Raras, dan menutupu mukanya dengan selimut. Kami mulai curiga, Jangan-jangan kami sedang berhadapan dengan mahkluk halus yang sering disebut sebagai Kuntilanak.....?!

Setelah beberapa ketika hilang lagi, tangisan itu terdengar kembali, kali ini lebih keras, tampaknya sangat bersahabat dengan kami. Sontak kami semua sangat panik. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami memang sangat takut, namun juga cukup penasaran. Tapi keberanian kami tidak cukup untuk menggerakan kaki dan meyakinkan eksklusif darimana sumber bunyi tersebut. Apa mungkin semalam itu ada orang yang mencoba menakut-nakuti kami? Karena kami semua perempuan? Atau mungkin sahabat sekelas yang menyusul dan kemudian mengisengi kami? Ya, kami hanya terus berusaha menepis pikiran jelek mengenai makhluk angker itu sambil berharap malam cepat berlalu. Keringat cuek mulai membasahi badan kami. Suara tangisan itu ibarat menawan kami di daerah yang gelap, pengap, dan asing! Namun, syukurlah, bunyi tersebut berangsur-angsur hilang, diganti dengan sayup-sayup ayam jantan kukuruyuk. Pukul dua lewat! Tangisan itu lenyap.  Dan untuk waktu yang cukup usang kami terus memusatkan pendengaran sebagai reaksi waspada tingkat tinggi. Namun, kami merasa lega, ia tidak kembali. Aku sendiri mulai mencicipi kantuk yang sangat berat. Akhirnya, satu persatu kami tumbang. Terlelap.......

Sinar matahari sudah menerobos masuk tenda kami dan menyibak lelap tidur kami. Satu persatu kami keluar dari tenda sambil memperhatikan keadaan di sekeliling tenda. Raras dan Tika tampak semangat "ngulet", kecuali Nining. Ia tampak sedang mengemasi ranselnya.

"Lho mau kemana, Ning?" Tanyaku heran.
"Kita pindah bersahabat pemukiman penduduk aja, atau lebih baik pulang aja!"

Mendengar Nuning, kami bertiga tak tahan menahan tawa. Tawa kami meledak. Mendadak kami ibarat mempunyai aksesori keberanian, sebab salah satu sahabat kami ngedrop.


Namun, walau bagaimanapun, Nuning ialah sahabat kami. Kami harus membulatkan tekad kami untuk tetap bersama dalam suka dan duka. Oleh sebab itu, kami kompak membujuknya dengan banyak sekali cara. Dan syukurlah kami berhasil menahan Nuning untuk bermalam sehari lagi.

Saat kami sedang asyik menikmati suasana lokasi perkemahan yang cenderung masih perawan itu, ada seseorang, tampaknya penduduk setempat memperlihatkan ikan hasil tangkapannya dengan murah. Tentunya kami tidak mau kehilangan kesempatan itu. Yeah,, mantap! Ikan segar sebagai hidangan siang ini.

Peristiwa yang terjadi tadi malam kami share melalui sosmed dan menjadi bahasan seru diantara teman-teman kami lainnya. Diantara mereka ada yang juga merasa ngeri, merasa khawatir, atau mengembangkan kisah serupa yang pernah mereka alami, namun tidak sedikit yang malah menakut-nakuti kami.

Dalam keseruan, waktu selalu terasa berlalu terlalu cepat. Sudah sore. Dan singsasana malam pun datang. Itu ialah malam terakhir kami di daerah tersebut ibarat komitmen kami dengan Nuning. Rencananya, besoknya, paling lambat sore hari kami sudah harus kembali ke rumah masing-masin. Kami juga mencoba meyakinkan Nuning bahwa tangisan itu tidak akan terdengar lagi malam ini. Kalaupun terjadi lagi, kita dapat lari ke rumah penduduk. Yakin? Tapi Nuning pastinya tidak begitu yakin. Begitu pula saya sendiri.

Waktu memperlihatkan pukul sepuluh malam. Di depan api unggun, kami asyik mengembangkan cerita. Berbagai kisah yang dialami masing-masing. Kami mencoba melupakan kejadian yang dialami kemarin dan mencoba meyakinkan bahwa Kuntilanak itu hanya ada di film! Sesekali kami saling mengejek dan kemudian pecah tawa. Malam api unggun memang selalu menarik buat saya, dan juga teman-teman. Namun kali ini berbeda, bunyi tangisan itu kembali terdengar. Sangat terang dan keras! Tanpa sempat berpikir panjang, kami belingsatan memasuki tenda...

Makhluk itu seolah menghardik kami sebab kami masih berani berada di daerah tersebut. Di dalam tenda, Nuning tampak tertekan sekali dan menangis ibarat anak kecil. Ia juga setengah menyalahkan kami sebab kami yang membujuknya untuk tetap tinggal malam ini. Semetara itu, tangisan wanita itu belum juga berhenti. Terkadang ibarat menjauh, terkadang pula terdengar sangat terang ibarat di bawa angin kearah tenda kami. Keadaan itu berlangsung hingga pukul satu dini hari! Setelah itu, berhenti cukup lama.

Wajah masing-masing tadi sudah tampak pucat pasi, kini berangsur kembali normal. Sepertinya tangisan itu tidak akan terdengar lagi ibarat kemarin. Karena sudah cukup tenang, kami pun mulai merebahkan diri. Namun, gres beberapa menit berebah, terdengar langkah kaki orang yang berjalan menginjak ranting dan daun-daun kering mendekati tenda kami. Kami hanya dapat menelan ludah, apa lagi ini?? Siapa yang tiba itu? Diakah? Kuntilanak? Bergaun putih dengan rambut yang panjang tergerai dan mata melotot? Detik-detik yang begitu mencekam. Berbagai spekulasi jelek mulai menghantui kami ketika itu.

"Nak...Nak..." Terdengar bunyi berat khas laki-laki. "Nak, ini Bapak yang tadi siang menjual ikan." Kami saling berpandangan. Suara panggilan itu ibarat memberi pasokan energi buat kami.

Tapi, apa benar?? Masih dengan tetap gemetar, saya memberanikan diri menyibakan tenda sedikit. Terlihat seorang bapak bau tanah menenteng lampu berdiri di bersahabat api unggun yang masih menyala.
Sepertinya itu memang orang yang sama dengan bapak yang menjual ikan tadi siang. Aku memperhatikan kakinya, menginjak bumi apa tidak? Konon, makhluk astral tidak menginjak tanah. Syukurlah, tapak kakinya terang menapak ke bumi. Dia menggunakan sendal jepit dengan jari jempol kakinya yang kelihatan besar. Aku pun segera keluar dan mendekati bapak penjual ikan tersebut.

"Hm.. Mohon maaf, apa benar ini bapak yang tadi siang menjual ikan?''
"Iya, kita gres tadi siang bertemu''
"Maaf, pak.. soalnya..."
"Oh, iya. Tidak apa-apa. Apa kalian mendengar sesuatu?" Si Bapak tersenyum. Aku memandang lekat wajah si bapak, tampaknya ia tahu apa yang terjadi di sini.
"Betul, Pak! Sudah dua malam kami mendengar bunyi tangisan perempuan. Sepertinya arahnya dari pinggir sungai sebelah sana, Pak." Tunjukku ke arah tepi sungai yang landai.
"Hm... " Bapak itu menghela nafas dan tampak mengelus dagu, kemudian duduk di atas rumput sekitar api unggun sambil meletakan lampu yang ia bawa.

Nuning, Tika, Raras satu persatu perlahan keluar dari tenda dan bergegas mendekatiku dan bapak bau tanah itu.

"Itu sudah saya duga. Makanya saya menemui kalian. Saat sedang terang bulan ibarat sekarang, di sepanjang sungai ini, ia sering memperlihatkan diri sambil menangis."
 "Hah, siapa ia Pak?'' Serobot Nuning.
Bapak bau tanah itu memasukkan ranting kering ke dalam api unggun sambil tersenyum menanggapi pertanyaan Nuning. Kami menjadi penasaran.
"Dulu, tujuh tahun lalu...."
"Ok tolong ceritain, Pak."
''Namanya Marni. Dia menikah dengan warga sekitar sini juga. Mereka di karuniai satu anak perempuan. Kehidupannya tampak normal layaknya keluarga lainnya. Namun semuanya berubah sesudah diusia tiga tahun ijab kabul mereka, suaminya meninggal dunia tertimbun longsor di tambang kerikil bara daerah ia bekerja. Setelah itu, Marni tampak sangat terpukul. Ia sering terlihat melongo seorang diri di sepanjang tepian sungai ini, hingga ia tampak sangat depresi. Setahun kemudian, ketika Marni mulai tampak membaik, ada seorang lelaki yang menyukainya dan ingin menikahinya. Marni pun menyukai lelaki tersebut. Lelaki itu ialah seorang pedagang yang cukup maju. Tapi sayang, begitu mengetahui bahwa Marni seorang janda dan mempunyai seorang anak, lelaki itu tidak jadi menikahi Marni. Marni merasa sangat kecewa. Lelaki itu masih dapat menerimanya, kalau Marni tidak mempunyai anak." Bapak bau tanah itu berhenti sejenak, dan meniup lampu yang ia bawa untuk menghemat energi.
"Lalu, Pak....?" Tanyaku penasaran.
"Akhirnya suatu hari...." Bapak bau tanah itu tampak berat melanjutkan ceritanya.
"Suatu hari kenapa, Pak?'' serobot Nuning
"Marni sangat tertekan atas nasibnya. Rupanya, kejadian itu menciptakan matanya gelap. Suatu hari Marni menenggelamkan anak perempuannya yang gres berusia empat tahun dipinggir sungai ini hingga meninggal dunia, supaya lelaki itu mau menerimanya."
"Ha.....!" kami semua terperanjat.

"Setelah itu, Marni menemui lelaki tersebut dan menceritakan bahwa ia kini sudah tidak punya anak lagi sebab sudah di bunuh di sungai. Mendengat itu, lelaki tersebut malah murka dan menuduh Marni sudah gila sebab berani membunuh anak kandungnya sendiri. Lelaki itu risikonya pergi entah kemana menghindari marni yang terus mengejarnya. Marni makin kecewa, namun risikonya ia menyadari kesalahannya. Tiap hari ia mencari anaknya ke sungai ini, tiap hari ia menangis meratapi perbuatannya. Hingga suatu hari, Marni....."
"Marni kenapa, Pak?'' Nuning lagi-lagi memotong kisah Bapak penjual ikan itu.
"Marni gantung diri."
"Haaa....jadiii.......??!!!"  
"Ya, ia gantung diri sempurna di daerah kalian mendirikan tenda..."
 "Haaaaaaa.....??!!!" Sontak kami terperanjat dan saling merapatkan posisi duduk.
"Tapi, untungnya upaya bunuh diri yang dilakukan Marni itu keburu di ketahui penduduk setempat, sehingga ia cuma 'nyaris' mati saja dan masih dapat di selamatkan."
"Huh, Bapak ngagetin saja! Saya kita jadi matinya." ketus Nuning dengan wajah masih pucat.
Si Bapak tertawa.
"Begitulah, Nak kisah perihal Marni. Jadi, kalau kalian mendengar tangisannya lagi, jangan khawatir, itu Marni. Bapak jamin ia tidak akan mengganggu kalian, sudah ya Bapak tinggal dulu ya, Nak,"
"Baiklah, terima kasih banyak, Pak sudah mau tiba melihat kami," balasku lega.
"Sama-sama, Nak." Bapak bau tanah itu tampak menyalakan kembali lampunya dengan api unggun, kemudian berbalik dan melangkah perlahan meninggalkan kami.

Satu persatu kami memasuki tenda dengan perasaan lega. Kehadiran bapak pencari ikan itu serta ceritanya perihal Marni, menciptakan kami merasa simpati kepada wanita itu. Ya, walaupun ia sudah menciptakan kami gemetaran tak karuan. Sepertinya, Marni hanya ingin tangisan penyesalannya di dengar orang lain, itu saja.

Kami pun memejamkan mata berusaha untuk tidur secepatnya. Tetapi mata kami ibarat enggan di pejamkan. Kisah tragis Marni benar-benar membekas dalam pikiran kami. Senang sekali kalau pagi lebih cepat tiba menghampiri kami. Kegelisahan masih tetap hinggap dalam diri kami masing-masing, apalagi sesudah mengetahui bahwa daerah kami terbaring ketika ini ialah daerah dulu Marni melaksanakan upaya bunuh diri dengan cara gantung diri. Rasanya gatal sekali untuk update status di sosmed, mengembangkan kisah mencekam namun menarik untuk dijadikan materi obrolan.

Beberapa ketika kemudian, dalam keadaan antara terjaga dan ingin segera cepat tidur, tiba-tiba tangisan itu terdengar kembali, kali ini sangat keras! Oh God.....sepertinya Marni berada sangat bersahabat dari tenda kami. Kami ingat pesan bapak penjual ikan tadi, bahwa Marni tidak akan mencelakakan kami, Karena ia hanya ingin tangisan penyesalannya didengar. Lagi pula bapak bau tanah itu niscaya rumahnya tidak jauh tenda kami, jadi kami dapat lari kesana kalau-kalau marni berniat mencelakakan kami. Lalu bunyi daun dan ranting yang terinjak kaki mulai terdengar jelas, makin usang makin bersahabat kemudian berhenti sempurna di depan tenda. Walaupun sudah mendengar kisah bapak bau tanah tadi, kami semua masih sangat ketakutan. Kami berharap akan mendengar bunyi bapak bau tanah itu lagi yang memanggil kami nak......nak... tapi tidak ada!

Apakah itu Marni? Bukankah hanya ingin tangisannya didengar saja? Apa kali ini ia ingin curhat dan memberi pesan yang tersirat kepada kami sebagai sesama wanita supaya dihentikan hingga putus asa ibarat dia? Tapi mudah-mudahan tidak ibarat itu. Kita belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kalau Marni benar-benar berada di hadapan kami. Dia tidak dapat diduga. Semoga saja bunyi langkah kaki tadi ialah Bapak bau tanah yang sengaja menjaga tenda kami, harapku, pastinya juga impian Nuning, Raras, dan Tika. Tapi kenapa ia berhenti cukup lamadi depan tenda?


Akhirnya pecah juga rasa penasaranku. Aku segera bangkit, kemudian nekad menyibakkan pintu tenda biar urusan ini segera berakhir, pikirku. Dan,..... di depan tenda kini saya terang melihat, bukan si Bapak bau tanah penjual ikan, tapi Marni! Matanya melotot, rambutnya tergerai panjang sekali. Mataku terang sekali melihat sosoknya, inikah wujud Marni? Apa mungkin Bapak penjual ikan tadi telah memberi kami kisah bohong kalau-kalau Marni bahu-membahu telah meninggal gantung diri di daerah ini?? Sepertinya begitu, Si Bapak berbohong. Lidahku yang tadi kelu tiba-tiba bertenaga dan eksklusif berteriak kencang: "Kuntilanaaaaakkkk!!!"

Lalu di susul teriakkan Nuning, Raras, dan Tika. Aku lari secepat mungkin meninggalkan tenda dan di ikuti oleh Nuning, Raras, dan Tika. Namun, gres beberapa puluh meter kami berlari meninggalkan Marni, saya melihat si bapak bau tanah penjual ikan di bawah pohon dengan lampu minyaknya. Dia sedang mentertawai kami, dan hah?!!! Kali ini, Kakinya tampak tidak menginjak tanah! ia ibarat melayang diatas ilalang. Jadi, rupanya ia juga .....?? "Setaaaaannnnn!! Kuntilanaaakk!!!"

Aku terus berlari, makin kencang, di ikuti oleh Nuning, Raras, dan Tika. Aku tak peduli lagi dengan apa yang sedang terjadi, yang niscaya saya harus berlari secepat mungkin untuk menyelamatkan diri.

Mungkin ini memang salah kami dikarenakan telah dengan lancang mengganggu ketenangan mereka. Kami salah telah menciptakan tenda terlalu jauh dari perkemahan umumnya, juga tanpa permisi mendirikan tenda di daerah yang ternyata sebagai daerah bunuh diri seorang Marni!

Hah! angker sekali. Kisah perihal marni dengan tangisannya itu ialah kisah yang tragis sekaligus angker di sungai dareh.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Tangis Kuntilanak Sungai Dareh Kisah Gaib Terbaru

0 komentar:

Posting Komentar