Setelah dinyatakan selesai masa belajarnya oleh ketiga lelaki bau tanah itu, Subekti kemudian berjalan keluar meninggalkan surau dan tiga lelaki bau tanah itu. Tujuh langkah keluar dari surau itu, ia menengok ke belakang untuk melihat tiga lelaki bau tanah tadi, ternyata mereka sudah tidak ada dan surau itu juga tidak ada. Yang tampak olehnya hanya taman bunga. Subekti heran, dalam hatinya ia bertanya kemana mereka dan dimana surau daerah ia berguru itu?. Dalam keheranannya itu, Subekti mendengar bunyi adzan, dan Subektipun terjaga dari lelap tidurnya. Ia teringat semua bencana dalam mimpi asing itu, dan Ia segera berdiri dari dipan itu.
Ia keluar dari gubug,hari masih gelap tapi bintang fajar telah mucul menerangi angkasa raya. Ia mendengar gemercik air mengalir di depan gubug, iapun segera mengambil air wudlu’ dan ia segera shalat shubuh yang telah usang ia tinggalkan. Usai shalat shubuh, ia berdzikir dan berdo’a sebagaimana yang diajarkan tiga lelaki bau tanah dalam mimpinya itu.
Matahari telah bersinar membuktikan hari telah pagi. Subekti segera ambil air wudlu’ dan melakukan shalat dluha dalam gubug itu. Usai shalat dan berdo’a, iapun bergegas untuk pulang ke kampung halamannya. Sesaat ia bingung, ke arah mana ia harus melangkah?. Sesaat kemudian, dengan basmalah ia mengikuti jalan setapak satu-satunya yang ada di depan gubug itu.
Tujuh langkah keluar dari gubug itu, ia dihadang makhluk tinggi besar, hitam dan berbulu lebat serta bertaring panjang. “Mau kemana kamu?”, kata makhluk itu dengan nada membentak. “Aku mau pulang ke rumahku”, Jawab Subekti. “Tidak bisa, kau harus ikut saya dan harus mau menjadi budakku”, kata makhluk itu. “Aku tidak sudi jadi budakmu. Aku mau pulang” kata Subekti dengan tegas. “Kamu melawan aku?, beraninya kamu”, kata makhluk itu. “Aku tidak takut sama sekali kepadamu. Aku hanya takut kepada Allah”, jawab Subekti. “Kalau begitu maumu, saya menantangmu bertarung, Kalau kau kalah, maka kau harus menjadi budakku”, kata makhluk itu. “Kalau saya menang?”, tanya Subekti kepada makhluk itu. “Kalau kau menang, saya biarkan kau lewat jalan ini menuju kampungmu, dan saya berikan cincin ini kepadamu”, kata makhluk itu.
Merekapun bertarung, makhluk tinggi besar itu mempunyai tenaga luar biasa. Pohon-pohon yang terkena hantamannya hangus dan roboh seketika. Namun, berbekal ilmu beladiri dan do’a-do’a yang diajarkan tiga lelaki bau tanah dalam mimpinya itu, Subekti hasilnya bisa melumpuhkan makhluk itu, dan iapun mendapat cincin kerikil pancawarna dari makhluk itu dan makhluk itu segera menghilang.
Tiga langkah kemudian, betapa kagetnya Subekti, ternyata ia telah berada di depan rumahnya. Iapun segera mengetuk pintu sambil mengucapkan salam “Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam” jawab istrinya dari dalam rumah. Istrinyapun segera keluar dan membukakan pintu. “Eh kakang, bikin kaget saja, biasanya masuk gak pernah pakai salam”, kata istrinya. Subekti hanya tersenyum. Selama ini ia memang tidak pernah mengucapkan salam dikala masuk rumahnya sendiri.
Subekti kemudian duduk di dingklik kayu kesayangannya. Istrinya segera menghidangkan sepiring nasi dengan sayur dan lauk pauk serta segelas teh manis. Subekti kaget, dari mana istrinya mendapat beras dan lauk pauk, padahal waktu ia tinggalkan beberapa waktu kemudian untuk memasuki hutan ia tidak meninggalkan sepeser uangpun, bahkan ia meninggalkan banyak hutang.
Subekti tidak segera makan, Ia bertanya kepada istrinya “dari mana kau uang untuk membeli beras dan lauk pauk ini?”. “Lha kan tujuh hari yang kemudian kakang kirim uang belanja dan buat bayar hutang”, kata istrinya. “kirim lewat siapa?”, tanya Subekti. “Minggu lalu, ada kakek-kakek tiba ke sini, namanya kakek Abdul Wahid. Katanya beliau sanggup titipan uang dari kakang buat belanja dan bayar hutang. Kakek itu juga bilang jikalau kakang belum bisa pulang selama tujuh hari sebab masih banyak pekerjaan. Memangnya kenapa kang?”, terang istrinya sambil bertanya. “Alhamdulillah. Nggak kenapa-kenapa kok. Ya Alhamdulillah jikalau uang itu cukup buat belanja dan bayar hutang”, jawab Subekti sambil menutupi keheranannya.
Suara Adzan dzuhur terkumandang di masjid, Subekti segera berdiri dari kursinya. “Sudah adzan, saya makannya nanti sesudah shalat saja ya, saya mau shalat di masjid dulu. Assalamu;alaikum”. Katanya kepada istrinya sambil berjalan keluar rumah. “Wa’alaikum salam, ya kang”, jawab istrinya sambil terheran-heran melihat perubahan pada sikap suaminya. Dalam hatinya ia merasa bersyukur dan Iapun segera mengambil air wudlu’ untuk shalat dzhuhur. Ia sudah usang tidak shalat kecuali shalat hari raya saja.
Sejak dikala itu, keluarga Subekti menjadi keluarga yang bahagia. Subekti rajin bekerja mengelola kebun sendiri maupun menjadi buruh tani jikalau ada yang memerlukan tenaganya, dan istrinyapun dengan senang hati membantu pekerjaan suaminya di kebun. Mereka juga taat beribadah kepada Tuhan.
Demikian dan terima kasih telah membaca Cerita Kisah Di BalikBatu Pancawarna ini, semoga menghibur anda. Cerita ini merupakan kelanjutan dari Cerita Mengharap Kematian MendapatKebahagiaan.
0 komentar:
Posting Komentar