Tuntutan kebutuhan hidup serta himpitan ekonomi menciptakan Subakti benar-benar berputus asa. Ia telah bertekad mengakhiri hidupnya namun ia tidak mempunyai keberanian untuk melaksanakan bunuh diri. Lalu Ia memasuki sebuah hutan rimba dengan impian ia mati dimangsa hewan buas. Namun, sehabis sekian hari ia bejalan dalam hutan dalam keadaan lapar dan dahaga, tak satupun hewan buas dijumpainya dan selesai hidup yang ia harapkanpun tak kunjung tiba. Ia semakin frustasi hingga ia kehabisan tenaga hingga tak sadarkan diri di hutan tersebut.
Ia kaget ketika menyadari dirinya sedang terbaring di atas sebuah dipan kayu dalam sebuah gubug. Ia telah siuman. Ia mengamati keadaan sekelilingnya, rupanya hari telah malam, dan dalam gubug itu ada lampu minyak menyala di atas meja, tapi tak ada seorangpun dalam gubug itu. Ia heran bagaimana ia sanggup berada dalam gubug itu.
Saat keheranannya belum terjawab, terdengar olehnya bunyi dari luar gubug, “Assalamu’alaikum. Kamu sudah bangun?, minumlah air yang ada di meja itu”. Ia semakin heran. “Wa’alaikum salam” jawabnya. Dalam hatinya mau bertanya kepada pemilik bunyi itu, tapi belum sempat ia bertanya, pintu gubug terbuka dan tampaklah sesosok lelaki renta kurus tapi terlihat segar bugar dengan wajah higienis bersinar sambil berkata “minumlah dulu supaya pulih tenagamu”. Akhirnya ia menuruti apa kata lelaki renta itu, ia minum air hangat yang ada di meja di samping dipan kawasan ia berbaring.
Benar saja, sehabis ia minum air itu, ia merasa segar dan sanggup bediri. Ia hendak mendekati lelaki renta itu dan ingin memarahinya kenapa ia menolongnya. Ia benar-benar ingin mati. Belum sempat ia melangkah, lelaki renta itu berkata dengan lembut “duduklah di dingklik itu dan tenangkan hatimu”. Ia tak kuasa menolak perintah yang disampaikan dengan penuh kelembutan oleh kakek itu. Lalu Ia duduk di dingklik yang ditunjuk lelaki renta itu. Saat ia duduk, iapun merasa lebih tenang.
“Tidak ada satu orangpun di dunia ini yang luput dari ujian, sebab hidup pada hakikatnya yakni ujian”, kata lelaki renta itu. “Kematian tak perlu diundang sebab ia niscaya akan datang, dan ia hanya akan tiba kalau memang waktunya datang. Kematian yakni hak setiap yang hidup di dunia ini.”, lanjutnya.
Subekti kian terheran, bagaima sanggup lelaki renta ini mengetahui wacana dirinya padahal belum sepatah katapun ia sampaikan kepadanya. “Perjalanan hidupmu masih panjang, malam ini tidurlah di sini dulu, besok pagi kau harus kembali ke kampung halamanmu. Banyak yang sanggup kau perbuat dalam mengisi kehidupan di dunia ini sebelum kau menjalani kehidupan yang lebih kekal”, tutur lelaki renta itu. Lalu lelaki renta itu keluar sambil berkata “segera tidurlah, saya masih ada keperluan di luar. Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam”, jawab Subakti.
Ia pun kemudian merebahkan dirinya di atas dipan, dan kemudian segera terlelap. Dalam tidurnya ia bermimpi. Suatu pagi ketika ia berjalan-jalan di sebuah perkampungan, ia bertemu dengan lelaki renta itu sedang duduk bersama dua orang lainnya di sebuah surau. Mereka berjubah putih dengan ikat kepala putih. Lalu lelaki renta yang ia kenal itu memanggilnya. “Subekti, kesinilah, masuklah ke surau kami”. Iapun menuruti dan melangkah memasuki surau itu. Setelah hingga di hadapan mereka, lelaki renta yang ia kenal itu mengulurkan tangan dan Subekti pun menyambut dan menjabat tangan lelaki renta itu. “Namaku Abdurrahman, dan ini saudaraku yang berjulukan Abdul Wahid, dan yang ini juga saudaraku yang berjulukan Abdus-Shamad”, kata lelaki renta yang ternyata berjulukan Abdurrahman itu.
“Ambillah Air Wudlu di pancuran itu, kemudian kita shalat bersama-sama”, kata Abdurrahman kepadanya. Iapun menuruti perintah itu, dan usai Subekti berwudlu’, mereka shalat berjama’ah di surau itu, dan yang menjadi imam yakni Abdurrahman. Usai shalat berjama’ah, berdzikir dan berdo’a, tiga lelaki renta itu mulai mengajarinya banyak sekali ilmu, mulai dari dzikir hingga beladiri. Subektipun mengikuti dan mempelajari dengan tekun. Ia tak pernah menghitung hari, yang ia tahu hanya mencar ilmu kepada tiga lelaki renta itu dan shalat berjama’ah dengan mereka di surau itu.
Sampai hasilnya tiga lelaki renta itu duduk bersama dan Abdurrahman berkata kepada Subekti “Sudah cukup kiranya apa yang harus kami ajarkan kepadamu sebagai bekal hidupmu di dunia ini. Sekarang sudah waktunya kami melaksanakan kiprah yang lain dan kau bertugas mengamalkan apa yang telah kami ajarkan kepadamu. Kembalilah ke rumahmu”. Subektipun menghaturkan rasa terimakasih kepada mereka kemudian berpamitan dan keluar dari surau itu sambil mengucapkan salam “Assalamu’alaikum”, “Wa;alaikum salam” jawab tiga lelaku renta itu serempak.
Demikian dan terima kasih telah membaca Mengharap KematianMendapat Kebahagiaan ini. Semoga sanggup menghibur anda. Cerita ini bersambung ke Kisah Di Balik Batu Pancawarna
0 komentar:
Posting Komentar